sinopsis film Captain America

Review – Captain America: The First Avenger (2011)

Abraham Erskine: ” Why someone weak? Because a weak man knows the value of strength, the value of power…”
Saya bukan fans dari pahlawan super Amerika satu ini, tetapi mengetahui bahwa ia menjadi kepingan puzzle terakhir dari proyek superhero raksasa nan ambisius Marvel Studios itulah yang membuat alasan terbesar saya kemudian cukup antusias menunggu kemunculannya tahun. Ya, inilah Captain America: The First Avenger, sebuah ajang pemanasan sebelum sekelompok besar superhero yang tergabung dalam The Avengers menghentak kita tahun depan.
Perkenalkan Steve Roger, ia tipikal karakter seorang pahlawan sejati dalam cerita komik yang memulai segalanya dari bawah layaknya si manusia laba-laba Peter Parker. Yatim piatu, seorang underdog yang sering ditindas karena fisiknya yang lemah, dalam kasus Roger ia penderita asma dengan ukuran tubuh kurus-pendek membuatnya kesulitan bergabung membela negara sebagai seorang tentara walaupun sebenarnya ia adalah seorang pemuda yang sangat berani dan baik hati, apalagi dalam hal menjunjung tinggi paham kebenaran dan impiannya untuk melindungi sesama.  Semangat dan keberaniannya yang luar biasa itu pada akhirnya mampu menarik perhatian Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) untuk kemudian menjadikan Roger kandidat nomor satu dalam sebuah operasi rahasia pemerintah, Project: Rebrith, dimana tubuhnya kemudian disuntik dengan serum super-soldier, merubahnya dari seorang pecundang penyakitan menjadi lelaki tanguh, tidak hanyad dari bentuk fisik tapi juga kekuatan yang melebihi manusia biasa. Tugas Roger kini adalah menghentikan sepak terjang kaki tangan Hitler yang juga pemimpin dari organiasi rahasia NAZI, Hydra, Johann Schmidt (Hugo Weaving) a.k.a Red Skull dalam usahanya menghacurkan dunia dengan kekuatan suprantural dahysat.
Tidak ada yang terlampau istimewa disini, Captain America: The First Avenger masih setia mengusung pakem usang seperti adaptasi komik Marvel lainnya dengan memfoksukan kisahnya pada sang karakter utama termasuk bagaimana ia memperoleh kekuatan super human nya hingga perjuangannya melawan segala kejahatan. Tapi sayangnya Steve Roger tidaklah sama dengan karakter utama The Avengers lainnya, ia bukanlah Iron Man yang memiliki alter ego sekuat Tony Stark yang dibawakan apik Robert Downey Jr. atau The Incridible Hulk yang menawarkan sensasi kehancuran total sebuah film superhero, bahkan jujur saja ia masih kalah menarik jika dibandingkan kisah si Dewa Petir, Thor yang kebetulan tayang lebih dahulu tahun ini. Tentu saja kesalahan tidak melulu disematkan kepada Joe Johnston selaku sutradara karena Captain America: The First Avenger tidak pernah mampu menghadirkan momen aksi mendebarkan yang benar-benar mampu mencapai titik puncak sebuah film superhero atau juga jalinan naskah super cheesy yang ditulis oleh duo Christopher Markus dan Stephen McFeely, salahkan saja karakter Captain America itu sendiri yang memang sejak awal tidak mampu tampil sekarismatik jagoan Marvel lainnya. Meskipun ia memiliki kekuatan super yang melebihi manusia biasa tapi apa yang terjadi dilapangan Johnston sama sekali tidak mampu mengeksploitasi hal itu dengan maksimal, yang ada kita hanya disajikan pertarungan seorang manusia super dengan cara yang tidak super alias biasa-biasa saja, satu-satunya yang menarik dari dirnya mungkin hanyalah perisai vibranium buatan Howard Stark- ayah Tony Stark yang senatiasa setia melindungi dirinya dari terjangan peluru, bahkan kekuatan misterius yang dipunyai Red Skull pun tidak mampu menembusnya.
Memamparkan origin story tampaknya menjadi kewajiban buat setiap film superhero, dan untuk kasus Captain America: The First Avenger Joe Johnston mampu memulainya dengan baik sebelum memasuki adegan pertarungannya. Bagian yang memperkenalkan proses Steve Roger dari sosok lemah menjadi sosok tangguh Captain America itu mungkin menjadi bagian terbaik dan paling mengasyikan di sepanjang film berdurasi 2 jam lebih ini. Johston tahu benar bagaimana memperolok bentuk fisik menyedihkan dari Steve Roger yang sampai-sampai mampu membuat Colonel Chester Phillips (Tommy Lee Jones) menangis itu menjadi sebuah sugguhan menghibur. Sayangnya meskipun sebenarnya alurnya sendiri tidak lambat tapi terlihat jika Johnston terlalu banyak mengulur waktu sampai Chris Evans memperoleh tubuhnya kembali dan memakai seragam kebesarannya. Sisanya, instalemen kelima dari Marvel Cinematic Universe ini tidak terlalu mengigit, hanya diisi dengan momen-momen aksi yang serba nanggung bersettingkan perang dunia II alternatif, seperti baku hantam tangan kosong dengan sedikit efek slowmotion, tembak menembak dan ledakan konvensional, bahkan Hugo Weaving dengan sosok Red Skull-nya pun tidak mampu menjadi acaman terbesar disini, ia hanya seorang supervillian dengan tampang jelek tanpa kemampuan teror yang benar-benar mampu merepotkan sang Kapten, untung saja adegan puncaknya cukup menggetarkan yang kemudian juga mampu ditutup dengan perpisahan menyentuh dengan sedikit romansa dari Peggy Carter (Hayley Atwell). Tapi tetap saja bagian paling menarik adalah endingnya yang sedikit twist atau teaser The Avengers yang bisa didapati setelah melalaui after credit yang cukup panjang itu.
Captain America: The First Avenger bisa jadi merupakan bagian terlemah dari rangkaian Marvel Cinematic Universe. Ia terlalu sederhana, sedikit membosankan dan terlalu lama berbasai basi untuk ukuran sebuah kisah superhero Marvel yang biasanya disajikan cepat dan penuh hingar bingar menghibur, terelpas dari segala kekuranganya itu Captain America: The First Avenger harus diakui sudah mampu melaksanakan tugasnya dengan baik membangun fondasi untuk sebuah kisah yang lebih besar dan nasib sang Kapten sudah diputuskan, karena ia akan dibawa kembali oleh Nick Fury untuk mengisi slot para superhero hebat dalam mega proyek The Avengers  tahun depan. Can’t Wait!

1 komentar:

{ rendyanto fariz } at: 6 Februari 2012 pukul 20.18 mengatakan...

film wajib ditonton !

Posting Komentar

 

staterlicious © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers